×
Bulan Desember: Kala Para Perantau Pulang Kampung

    Kota Balige era tahun 80-an menarik bila dibanding era sekarang. Pertemanan era tersebut dibanding era sekarang sungguh sangat berbeda.

   Dulu, menjelang Natal atau Tahun Baru, si perantau pulang kampung, mata akan melihat pemandangan gaya berpakaian yang berbeda. Kala itu saya masih duduk di SMA.

    Saya berdecak kagum melihat gaya perantau berjalan di sepanjang pasar lama. Langsung bisa ditebak dari caranya berpakaian. Mereka akan belanja oleh-oleh di bilangan Jalan Sisingamangaraja, di toko roti Terang Bulan, di toko roti Partungkoan. Uang banyak, pakaian necis jins bermerek dan sepatu putih trendi dan kalung emas dan jam tangan (saya belum bisa membedakan emas asli atau jam tangan KW saat itu).

    Saya pun terobsesi, kapanlah saya lulus sekolah supaya cepat merantau dan bergaya dan seperti mereka? Sudah saya bayangkan mentraktir Bapak, Mamak, Adik, Kakak, Saudara, Teman di kedai bakmi Si Bungkuk atau kedai mi Gemar di Pasar Baru. Itulah restoran Tionghoa yang ngetren di seputar Jalan Singamangaraja dan Jalan Pasar Baru. Atau di resto Bundo Kandung atau Sinar Minang yang menyajikan rendang yang sedap lengkap dengan perkedel.

    Pokoknya dalam benak dan hati saya waktu itu, semua perantau pasti berhasil dan punya uang banyak. Melihat mereka martandang ke rumah gadis, bintang kota Balige, hati ini jadi miris. Mereka disambut gembira oleh orang tua dan dari si gadis.

    Kala si perantau jalan berdua bergandengan dengan si bunga kota ke Bioskop Maju atau Bioskop Antara, dalam hitungan detik mereka akan menjadi buah bibir masyarakat kota. Sungguh berbahagia mereka, pikir saya. Itu menambah motivasi saya untuk secepatnya lulus SMA agar cepat mencari kerja ke perantauan.

Saya sendiri, untuk menonton di bioskop saja harus menunggu saudara agar bisa diajak nonton. Mengharap uang dari orang tua tidak bakal diberi. Kalau saudara datang, itulah saat bergaya ke bioskop dan sesudah menonton makan soto atau sup si Buyung di sekitar bioskop.

    Tiap bulan Desember pulang kampung nama perantau akan menjadi buah bibir yang harum namanya. Mereka orang sukses di rantau. Saya tidak berpikir sedikitpun bahwa si dekat sesama perantau atau dengan cara apapun agar bisa perantau bisa jadi berusaha meminjam uang dari teman pulang ke Balige dan bergaya orang kaya atau parhepeng Efek positif bagi teman si perantau diajak santai makan-makan di pantai Lumban Silintong atau di Agros lijtus dan rasa bangga punya teman perantau yang pulang kampung

       Bertahun kemudian saya baru merasakan dan mengetahui hidup keras di Jakarta. Berjuang hidup demi menggapai cita-cita. Kuliah sambil bekerja. Tinggal di rumah kontrakan, di gang sempit. Ternyata perantau tidak seindah yang saya bayangkan. Pameo kejamnya ibu tiri lebih kejam ibu kota, saya rasakan betul ketika tinggal dan hidup di Jakarta.

    Rasa kagum saya kepada si perantau pun terkikis sedikit demi sedikit. Saya tahu keadaan mereka yang sebenarnya di Jakarta. Bisnisnya pun saya tahu setelah bertemu langsung. Ada yang martigatiga sepatu dan jins abal-abal di Pasar Senen, jualan teh botol kaki lima, sopir angkutan umum, bahkan calo bus di terminal, pengecer dan bandar narkoba berskala kecil. Mereka justru yang paling boros membelanjakan uang di kota Balige atau "sultan"-nya istilah sekarang.

    Sekarang si perantau pulang kampung tidak seperti dulu sambutan teman-teman di kampung. Tidak lagi hangat, boleh dikatakan cenderung cuek bahkan pudar rasa holong berteman. Mungkin karena tingkat kehidupan masyarakat di kota Balige lebih banyak sehingga dapat dirasa perbedaan tersebut. Pembangunan kantor Bupati yang semula di sawah-sawah atau disebut dalan na buruk karena akses jalan tidak dapat dilewati kendaraan saking jeleknya. Sepeda harus digotong agar bisa lewat. Tempat permainan judi martuo bagi pelajar yang sengaja bolos dari sekolah, artinya daerah cukup rawan kalau kita melewatinya. Namun pembangunan Balige berkembang baik sekarang. Banyak rumah beton di sepanjang dalan na buruk bahkan banyak yang beperkara memperebutkan tanah yang diabaikan menjadi rebutan. Dampak dibangunnya kantor Bupati dan jalan yang mulus menjadi tanah emas karena mahalnya harga tanah di sana.

    Dulu si perantau pulang berkendara sangat dikagumi. Sekarang rata-rata warga punya mobil. Sepeda motor hampir ada di tiap rumah tangga. Kadang saya pulang kampung ke Balige timbul rasa segan dan canggung bila bertemu teman-teman zaman kecil. Padahal bertemu ngobrol di lapo tuak bisa cair kembali terutama setelah bercerita masa-masa kecil, masa remaja, bolos sekolah kabur ke Sibodiala mencari harimonting saat guru mau ngajar tidak hadir atau berhalangan.

Related Post

×

Notice!!

Ingin diundang ke Balige Writers Festival 2025? Yuk, daftarkan segera dan pastikan kalian sudah membaca dan mengikuti persyaratan nya ya. Pantau terus update informasinya melalui sosial media @baligewritersfest Horas!